al Usul Desa NgembalrejoDesa Ngembalrejo. Ngembal merupakan sebuah hutan belantara di masa lalu. Kala itu hutan tersebutbernama Kembal, namun dengan perkembangan zaman bergeser menjadi Ngembal. Sedangkan Rejo, berarti makmur atau semarak. Konon kisahnya, pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, beliau memberikan anugerah dan penghargaan kepada para punggawa / prajurit yang telah banyak berjasa atas tegaknya Kesultanan Mataram.Salah satu penerima anugrah tersebut adalah seorang Purnawirawan Prajurit Wira Tamtama bernama Ki Kalamuddin. Beliau menerima sebidang tanah yang cukup luas, namun masih berupa hutan belantara bernama hutan Kembal. Hutan itu terletak di lembah gunung Muria bagian selatan, sekitar 5 km sebelah timur dari pusat kota Kudus saat ini. Beliau membabat tanah baru dengan membuat padepokan sebagai bangunan induknya. Di sana, beliau tidak hanya membuka lahan baru bagi para pendatang namun juga senantiasa menyebarkan agama Islam.Para cantriknya sendiri terdiri dari santri yang setia pada pemimpin, percaya, tekun bekerja, sehingga daerah ini berkembang pesat seiring dengan kedatangan para pendatang baru yang menetap di sini. Nah, untuk mencukupi kebutuhan desa yang semakin banyak penduduknya itu, Ki Kalamuddin mengundang sahabatnya untuk turut serta membantu. Namanya adalah Ki Sotruno.Beliau diketahui berasal dari Tumang (daerah Kaliwungu Kudus), seorang yang ahli membuat batubata dan genteng, dari tanah liat tentunya. Beliau juga seorang tokoh sakti di daerahnya, sehingga dihargai untuk menepi di dekat sumber air (Jawa : Tuk) yang sangat dibutuhkan warga Kembal. Dari kata Tuk tersebut, hingga sekarang daerah ini dikenal dengan nama dukuh Ngetuk.Di daerah ini, karena ketrampilan yang diajarkan Ki Sotruno, masyarakatnya memang banyak yang membuat batu bata maka ada pula dukuh yang bernama dukuh Boto. Dukuh ini sendiri dibagi menjadi dua bagian, Boto Lor dan Boto Kidul.Sedangkan untuk hiburan, Ki Kalamuddin juga mengundang sahabatnya, seorang seniman ulung bernama Mbah Mursodo dari Kedu. Pada masa itu beliau mengajarkan beberapa kesenian seperti tari, karawitan, dan dalang. Selain itu, beliau juga mengajarkan untuk bercocok tanam sendiri, misalnya bertanam pohon Jambe. Nah, karena banyaknya pohon Jambe yang tumbuh di kawasan itu, wilayah ini bernama dukuh Jambean (sekarang masuk wilayah desa Purworejo).Di sini juga ada pemakaman Cina bernama Cong He, namun lidah masyarakat setempat terbiasa menyebutnya Conge hingga sekarang.Adapun batas-batas desa Ngembalrejo, bagian selatan berbatasan dengan Ngembalkulon kec. Jati,sebelah barat berbatasan dengan Dersalam kec. Bae, utara berbatasan dengan Karangbener, timur utara berbatasan dengan Bareng kec. Jekulo, timur selatan berbatasan dengan Tenggeles kec. Mejobo.
Jumat, 28 Agustus 2015
BIOGRAFI DAN HASIL KARYA FREDERICH SILABAN
Biografi Frederich
Silaban
- Biografi
Ars. Frederich Silaban
(lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912 – meninggal di Jakarta,
14 Mei 1984 pada umur 71 tahun) adalah seorang opzichter/arsitek generasi awal
di negeri Indonesia. Dia merupakan seorang arsitek otodidak. Pendidikan
formalnya hanya setingkat STM (Sekolah Teknik Menengah) namun ketekunannya
membuahkan beberapa kemenangan sayembara perancangan arsitektur, sehingga dunia
profesipun mengakuinya sebagai arsitek. Dan seiring perjalanan waktu, ia
terkenal dengan berbagai karya besarnya di dunia arsitektur dan rancang bangun
dimana beberapa hasil karyanya menjadi simbol kebanggaan bagi daerah tersebut.
Frederich Silaban telah menerima anugerah
Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil berupa Bintang Jasa Utama dari pemerintah
atas prestasinya dalam merancang pembangunan Mesjid Istiqlal.
Frederich Silaban juga merupakan salah satu
penandatangan Konsepsi Kebudayaan yang dimuat di Lentera dan lembaran
kebudayaan harian Bintang Timur mulai tanggal 16 Maret 1962 yakni sebuah
konsepsi kebudayaan untuk mendukung upaya pemerintah untuk memajukan kebudayaan
nasional termasuk musik yang diprakarsai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat,
onderbouw Partai Komunis Indonesia) dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan
Nasional (onderbouw Partai Nasional Indonesia) dan Lembaga Seni Budaya
Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.
- Pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
Selain itu, Frederich
Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI).
Pada April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro arsitektur PT Budaya
dan Ars. F. Silaban merasa tidak puas atas hasil yang dicapai pada Konperensi
Nasional di Jakarta, yakni pembentukan Gabungan Perusahaan Perencanaan dan
Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS) dimana keduanya berpendapat bahwa kedudukan
"perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga setara
dengan "pelaksana". Mereka berpendapat pekerjaan
perencanaan-perancangan berada di dalam lingkup kegiatan profesional
(konsultan), yang mencakupi tanggung jawab moral dan kehormatan perorangan yang
terlibat, karena itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar
laba (profit oriented). Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan (kontraktor) cenderung
bersifat bisnis komersial, yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba dan
tanggung jawabnya secara yuridis/formal bersifat kelembagaan atau badan hukum,
bukan perorangan serta terbatas pada sisi finansial. Akhir kerja keras dua
pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di
Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959. pertemuan ini dihadiri 21 orang,
tiga orang arsitek senior, yaitu: Ars. Frederich Silaban, Ars. Mohammad
Soesilo, Ars. Lim Bwan Tjie dan 18 orang arsitek muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur
Institut Teknologi Bandung tahun 1958 dan 1959. Dalam pertemuan tersebut
dirumuskan tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan dasar-dasar pendirian
persatuan arsitek murni, sebagai yang tertuang dalam dokumen pendiriannya,
“Menuju dunia Arsitektur Indonesia yang sehat”. Pada malam yang bersejarah itu
resmi berdiri satu-satunya lembaga tertinggi dalam dunia arsitektur profesional
Indonesia dengan nama Ikatan Arsitek Indonesia disingkat IAI.
- Kisah dengan Bung Karno & Pembangunan GBK
GBK dibangun dua tahun menjelang Asian Games IV 1962.
Jakarta. Soekarno, seperti dikutip Harian Merdeka, 1 Maret 1962, menganggap
Asian Games sebagai usaha perjuangan 'nation building'. Yakni meningkatkan
taraf hidup rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa yang bahagia dan terhormat di
dunia.
Disebutkan kalau sejak tahun 1950-an Soekarno
memang punya mimpi untuk membangun stadion sepakbola terbesar di dunia. Tapi
bukan sembarang stadion yang dia mau. Salah satu syarat yang diminta adalah
stadion tersebut memiliki atap temu gelang (berbentuk melingkar mengelilingi
stadion dan bertemu di kedua ujungnya), pekerjaan arsitektur semacam itu
dianggap sesuatu yang nyaris mustahil di periode tersebut.
Arsitek kelahiran Sumatera Utara bernama
Friedrich Silaban akhirnya bisa mewujudkan mimpi Soekarno.
Arsitektur yang satu ini memang seorang yang
selalu kuat mempertahankan apa yang sudah diyakininya benar. Sifatnya yang
demikian, telah juga menggoreskan kenangan manis dalam perjalanan hidupnya.
Sifat pendirian yang konsisten itu telah membuat hubungannya dengan Bung Karno,
Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita
dimaksud diungkapkannya pada Solichin Salam dalam satu wawancara pada bulan
Pebruari 1978.
Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah
yang membuat hubungannya dengan Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24
tahun dia sering berselisih pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam
perselisihan pendapat itu, katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus
terang bahwa beliau yang salah dan Silabanlah yang benar.
Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan
Noria boru Simamora (ibu), ini pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno
itu menjadi kenangannya sampai mati. “Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus
sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat
terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara
lain masalah kompleks Bangunan Olah Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan”,
kata Silaban saat itu.
“Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat
suatu ‘sport complex’ yang berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang
terpisah oleh sebuah jalan raya yang nanti akan menjadi jalan raya yang
tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut manajemen dan organisasi, ini
akan menyulitkan secara terus menerus dan berganda. Betul saya lihat di sini
(gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di bawah jalan Jenderal Sudirman,
tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.
Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus
kebanjiran, sehingga membutuhkan pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya.
Tenaga listrik untuk itu dan untuk penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya,
sehingga cukup untuk sebuah kota menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan
saya. Keberatan terbesar adalah masalah lalu-1intas. Duku Atas terlalu dekat
kepada bundaran Jalan Thamrin seperti tadi saya telah katakan, maka jalan
Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia Tenggara. Sukar dapat
dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila ada ‘sport festival’di ‘Asian
Games Complex’ itu” katanya.
Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut
mengatakan, untuk menonton pertandingan pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah
harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00 (siang) kalau tidak, mereka tidak
akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden mau jalan, selalu didahului
‘voorrijders’ dengan sirenenya, sehingga tidak pernah mengalami apa yang harus
dihadapi oleh rakyat.
“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan
Duku Atas sebagai tempat untuk Asian Games itu, maka sudah dapat diramalkan
bahwa lalu lintas pada hari-hari ada acara sport di Asian Games Complex, di
jalan itu akan macet total. Kalau Presiden tokh mempertahankan tanah Duku Atas
itu dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya lihat, maka saya khawatir, bahwa
kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat membuat
kompleks stadion begitu”, begitu kritik Silaban dengan jujur kepada Bung Karno
ketika itu.
Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar,
“Ya, Presiden Soekarno yang salah dan Silaban yang benar”. Itulah kenangan yang
tak pernah dilupakannya sampai akhir hidupnya.
Spoiler for Bung
Karno dan Arsitek Silaban, Sering "Bertengkar" di Udara:
- Hasil Karya:
Gedung
Universitas Nommensen - Medan (1982)
Gelora Bung Karno - Jakarta (1962)
Rumah A Lie Hong - Bogor (1968)
Monumen Pembebasan Irian Barat - Jakarta (1963)
Markas TNI Angkatan Udara - Jakarta (1962)
Gedung Pola - Jakarta (1962)
Gedung BNI 1946 - Medan (1962)
Menara Bung Karno - Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun)
Monumen Nasional / Tugu Monas - Jakarta (1960)
Gedung BNI 1946 - Jakarta (1960)
Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih - Jakarta (1960)
Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin - Jakarta (1958)
Rumah Pribadi Friderich Silaban - Bogor (1958)
Masjid
Istiqlal - Jakarta (1954)
Frederich Silaban memenangkan sayembara
pembuatan gambar maket Masjid dengan motto (sandi) "Ketuhanan" yang
kemudian bertugas membuat desain Istiqlal secara keseluruhan. Istiqlal ini juga
merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1970-an
Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu
telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani
maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun
tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian
halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21
merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya
telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.
Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari
mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Tidak ada
yang dibuat-buat sehingga menjadi demikian, namun begitulah memang gambaran
toleransi beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari
umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau
desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim. Demikian juga dengan
Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan kebesaran jiwanya dengan
terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan mesjid yang sangat monumental
tersebut.
Gedung Bentol - Jawa Barat (1954)
Gedung ini merupakan bagian
dari Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di jalur jalan raya puncak, Jawa
Barat dan berlokasi tepat di belakang gedung induk dan berdiri di dataran yang
lebih dari bangunan-bangunan lain. Gedung yang sering disebut sebagai tempat
Soekarno mencari inspirasi dinamakan Gedung Bentol karena seluruh dindingnya
ditempel batu alam yang membuat kesan bentol-bentol.
Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata -
Jakarta (1953)
Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah
Pertanian Menengah Atas (SPMA) - Bogor (1953)
Sekolah pertanian ini telah melahirkan
sejumlah tokoh kawakan di berbagai bidang. Beberapa di antaranya bahkan pernah
menjabat sebagai menteri. Padahal sekolah yang kini berumur seabad ini
sejatinya "kawah candradimuka" bagi penyuluh dan teknisi di bidang
pertanian.
Rumah Dinas Walikota - Bogor (1952)
Kantor Dinas Perikanan - Bogor (1951)
Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938)
Tugu ini dibangun pertama
kali pada 1928 oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda. Pada 1938
dibangun kembali dan disempurnakan oleh Frederich Silaban. Pada 1990 dibangun
duplikatnya dengan ukuran 5 kali lebih besar untuk melindungi tugu khatulistiwa
yang asli. Pembangunan yang terakhir diresmikan pada 21 September 1991
Langganan:
Postingan (Atom)